Rabu, 13 Agustus 2008



Profesi Guru, Antara Pengabdian dan Tuntutan

Terpujilah Wahai Engkau Ibu Bapak Guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

S'bagai prasasti t'rima kasihku `tuk pengabdianmu dst.

Syair lagu Hymne Guru ini sudah sering sekali kita dengar dan nyanyikan. Seandainya kita coba mengkaji lebih dalam akan arti/makna dari lagu tersebut, maka tampaklah sebuah gambaran keseharian seorang guru, dengan loyalitasnya, ketekunan serta pengor-banan dalam mendidik siswa untuk mencapai suatu proses perkembangan yang optimal. Namun, dibalik itu semua juga tersirat suatu dilema profesi ini dimana seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun perlakuan yang sebanding dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana pula sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini hanyalah sebuah tulisan dari pemikiran dan diskusi yang teoritis ini, namun de-ngan yang teoritis ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan un- tuk merefleksikan kembali pilihan kita.

PENGERTIAN PROFESI

Profesi berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi: kegiatan "apa saja" dan "siapa saja" untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial de-ngan baik.

Jabatan Guru Sebagai Suatu Profesi

Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (meng-ajar, mengelola kelas, merancang peng-ajaran) dan dari pekerjaan ini se- seorang dapat memiliki nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain. Namun da-lam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda dari pekerjaan lain. Menurut artikel "The Limit of Teaching Proffesion," profesi guru termasuk ke dalam profesi khusus _ selain dokter, penasihat hukum, pastur. Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pela-yanan manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendak-nya menyadari bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarga-nya harus hidup _ akan tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kese- diaannya untuk melayani sesama.

Di lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam ke-adaan darurat dianggap wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusia-an.

Dua Prinsip Etika Profesi Luhur

Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan:

"Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlinan mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepen-tingan klien."

Yang kedua adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam ke-adaan apapun tetap menjunjung tinggi tuntutan profesinya.

Kesimpulannya adalah jabatan gu-ru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru adalah profesi khusus _ luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bu-kan semata-mata segi materinya belaka.

Tuntutan Seorang Guru

Di atas telah dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur. Berikut akan diuraikan tentang 2 tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu ada-lah:

  1. Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik.

  2. Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik atau ti-dak baik.

Apabila seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat eks-klusif. Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak di-ajarkan bahwa untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan sehingga menutup kemung-kinan akan timbulnya visi bersama (ke-lompok) akan hal yang baik.

Berbeda dengan tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengem- bangkan visi apa yang baik secara kon-krit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah kehidupan bermasya-rakat sehingga pada akhirnya akan terbentuklah dalam diri anak sense of justice dan sense of good.

Komitmen guru dalam mengajar guna pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus memiliki loyalitas terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga (sekolah). Sekolah selanjutnya akan mengatur guru, KBM dan siswa supaya mengalami proses belajar mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan, membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru mempunyai oto-nomi). Hal ini menjadi perlu bagi se- orang yang profesional dalam peker- jaannya.

Masyarakat umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses' anak didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga (sekolah). Lembaga (sekolah) boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga (sekolah) atau guru tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga (sekolah) atau guru.

Dengan demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban melainkan visi yang akan dicapai guru melalui pro-ses belajar mengajar. Guru perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut.

Daftar Pustaka

  1. Hand Out "Etika Profesi," Unika Atmajaya.

  2. Bernhard Kieser "Etika Profesi," Tantangan untuk menjadi hati nurani rakyat", 1986.

  3. Franz Magnus Sureno "Etika Dasar," 1986.

  4. Catatan Etika Khusus Dosen Bapak Andre Ata Udjan, Unika Atmajaya.

Yunita Maria Yeni M. , S.Pd. SLTPK 5 Cipinang

Kurikulum Satuan Pendidikan


Jakarta, Kompas - Sejumlah sekolah mulai berusaha menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengacu pada Standar Isi yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan-pelatihan pun mulai diselenggarakan.

Namun, sejauh ini guru dan sekolah sebagai pelaksana masih meraba-raba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka juga khawatir kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar.

Hasil pantauan ke sejumlah sekolah di Jakarta, pekan lalu, menunjukkan bahwa kesulitan dan kerumitan itu terutama dirasakan oleh guru di sekolah yang tidak sempat merasakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tiba-tiba kini mereka diarahkan menjalankan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Belum diterapkan

Maemunah selaku Kepala SD Negeri Palmerah 07 Pagi, Jakarta Barat, mengaku sudah mendapatkan penjelasan terkait dengan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Begitu pun sejumlah guru dan kepala sekolah yang ditemui terpisah.

"Saya sempat ikut sosialisasi yang diadakan Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat. Informasinya, di Jakarta pelaksanaan penuh kurikulum tingkat satuan pendidikan mulai tahun ajaran 2007. Akan tetapi, sekolah kami sendiri berkeinginan untuk memulai pelaksanaan kurikulum tersebut pada semester dua tahun ajaran ini supaya sekaligus mempraktikkan penggunaannya," kata Maemunah.

Dengan adanya kurikulum tingkat satuan pendidikan itu, nantinya setiap sekolah mempunyai kurikulum berbeda-beda. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) hanya memberikan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk tiap mata pelajaran, sebagaimana tertuang dalam Standar Isi yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.

Bagi guru-guru di SD Negeri Palmerah 07 Pagi, perubahan itu cukup menyulitkan mengingat selama ini mereka menggunakan Kurikulum 1994. Sebaliknya, bagi sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2006—lebih dikenal sebagai KBK, kesulitan yang mereka rasakan tidak terlalu besar.

Mochamad Nasir, guru kelas VI SD Negeri Palmerah 07 Pagi, mengakui hal itu. Kalau pada Kurikulum 1994 materi yang akan disampaikan pada tiap mata pelajaran telah dirinci secara detail, pada kurikulum tingkat satuan pendidikan ternyata tidak demikian.

"Yang ada hanya standar kompetensi dan kompetensi dasar sehingga ada yang menyebutnya kurikulum dua kolom. Materi yang akan disampaikan selama satu semester, indikator, dan bahan ajar harus dirancang sendiri oleh sekolah dan guru," ujarnya.

Sebaliknya bagi Ngajio, guru di SD Negeri Palmerah 15 Pagi, yang sebelumnya telah menjalankan KBK. Ia mengaku lebih mudah beradaptasi dengan model kurikulum baru tersebut. Waktu menjalankan KBK, kata Ngajio, guru bahkan telah belajar mengembangkan indikator-indikator pembelajaran dan menyusun langkah-langkah belajar.

Menurut Ketua Federasi Guru Independen Indonesia Suparman, kurikulum tingkat satuan pendidikan membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama, yakni terlalu bergantung pada birokrasi.

"Jangan-jangan nanti sekolah hanya menduplikasi isi kurikulum lama tanpa memanfaatkan peluang yang ada untuk mengembangkan sekolah," kata guru SMA Negeri 17 Jakarta ini.

Bandung curi peluang

Ketika guru-guru di Jakarta masih sibuk dengan program sosialisasi, langkah maju justru terjadi di Kota Bandung. Guru-guru di sini malah telah mendeklarasikan penggunaan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran 2006/2007.

"Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan satu peluang bagi sekolah untuk mengurus diri sendiri, tidak hanya untuk manajemen sekolah, tetapi juga secara akademis," kata Cucu Saputra, Kepala SMA Negeri 3 Bandung.

Hanya saja, diakuinya bahwa penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan perlu proses karena sudah terlalu lama sekolah diatur oleh pemerintah. Sekolah butuh sosialisasi dan proses pengalaman. "Pelatihan-pelatihan sudah ada, namun lebih banyak digagas oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran alias MGMP," ujarnya. (INE)

BSNP, Akreditasi, Sertifikasi, dan Penjaminan Mutu

PAGIAN pertama telah dijelaskan untuk mendukung tercapainya Standar Nasional Pendidikan dibentuk sebuah badan yang disebut Badan Standar Nasional Pendidikan yang disingkat BSNP yaitu sebuah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, mengatur pelaksanaan dan mengevaluasi Standar Nasional Pendidikan. Oleh sebab itu badan ini bersifat mandiri dan profesional. Dalam menjalankan tugasnya itu BSNP mempunyai kewenangan untuk: (1) Mengembangkan Standar Nasional Pendidikan, (2) Menyelenggarakan ujian nasional, (3) Memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan, (4) Merumuskan kriteria lulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Karena sifatnya BSNP yang mandiri dan profesional, keanggotaannya terdiri dari para ahli dari disiplin ilmu yang relevan yaitu ahli dalam bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan.

Evaluasi Standar Nasional Pendidikan yang dikerjakan oleh BSNP meliputi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh semua satuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas) penyelenggaraan pendidikan, kinerja pendidikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dan evaluasi oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk oleh masyarakat atau organisasi profesi untuk menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.

Evaluasi kinerja pendidikan dilakukan oleh satuan pendidikan meliputi sekurang-kurangnya: tingkat kehadiran peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kegiatan ekstra kurikuler, hasil belajar peserta didik, dan realisasi anggaran.

Evaluasi kinerja pendidikan oleh pemerintah dilakukan oleh menteri terhadap pengelolaan, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Evaluasi kinerja pendidikan oleh pemerintah daerah dilakukan terhadap pengelolaan, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan, pada pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan non formal termasuk pendidikan anak usia dini secara berkala.



Akreditasi

Akreditasi adalah suatu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh suatu badan yang disebut Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk mengakreditasi atau menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan. Akreditasi dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara obyektif, adil, transparan dan komprehensif oleh satuan pendidikan kepada publik.

Untuk melakukan akreditasi agar penyelenggaraan pendidikan pada semua lingkup mengacu pada Standar Nasional Pendidikan, pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang namanya dibedakan menurut satuan, jalur dan jenjang pendidikan. Program atau satuan pendidikan pada jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diakreditasi oleh BAN-S/M (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasyah) yang pada tingkat propinsi dibentuk oleh gubernur.

Program atau satuan pendidikan jalur non formal diakreditasi oleh BAN-PNF (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non-Formal), sedangkan pada program dan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi diakreditasi oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi).



Sertifikasi

Standar pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada penjelasan di atas mengandung pengertian bahwa ijazah dan/atau sertifikasi diberikan kepada peserta didik setelah mencapai atau memiliki kompetensi dari suatu program dari satuan pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dengan kata lain ijazah diberikan oleh satuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi sebagai tanda bukti bagi peserta didik yang telah lulus.

Sedangkan sertifikasi kompetensi diberikan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui pemerintah sebagai bukti bagi peserta didik telah lulus uji kompetensi.

Sertifikasi kompetensi dapat pula diberikan kepada peserta didik pada jalur pendidikan informal setara dengan pendidikan formal apabila telah lulus uji kompetensi. Pemberlakuan yang sama pula pada peserta didik pada jalur pendidikan informal dapat memperoleh ijazah yang setara dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal apabila yang bersangkutan lulus uji kompetensi dan Ujian Nasional (UN).



Penjaminan Mutu

Penjaminan mutu adalah satu proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan sehingga para pelanggan, pemakai atau user memperoleh kepuasan. Penjaminan mutu pendidikan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan pada jenjang, jenis dan jalur pada satuan pendidikan. Penjaminan mutu dapat dilakukan secara internal oleh satuan pendidikan yang bersangkutan dan dapat pula dilakukan secara eksternal oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) baik pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta pada jalur pendidikan non formal.

Kewajiban untuk melakukan penjaminan mutu pada setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan non formal diatur dalam PP No. 19 Tahun 2005 pasal 91 yang tujuannya adalah untuk memenuhi bahkan melampaui Standar Nasional Pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis, terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.**

Makna Belajar Bagi Orang Dewasa




Jakarta, 4 Februari 2003



"Untuk apa sekolah tinggi, toh akhirnya sama saja, bingung ke mana mencari pekerjaan yang cocok. Ijazah akademik tidak memberi jaminan identitas yang segagah gelarnya. Bahkan sudah tidak lagi bisa dihitung dengan jari jumlah kawan sesama sopir taksi yang bergelar sarjana. Bukankah hidup itu yang paling pokok adalah memiliki sumber penghasilan yang cukup untuk menutup pengeluaran dan sisanya ditabung buat warisan, benarkan Pak?". Begitulah perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang sopir taksi dalam suatu pembicaraan santai. Logika dan pertanyaan pembenar sopir taksi itu bisa dijawab benar dan tidak benar.


Kenyataan membuktikan semakin banyak jumlah kaum akademik yang tidak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan disiplin ilmu atau gelarnya. Artinya ia menjalani pekerjaan yang semestinya tidak harus dilakukan setelah ia menyandang gelar akademik kebanggaannya. Ambillah contoh jika seorang sarjana pendidikan harus menjadi pedagang es keliling atau seorang sarjana hukum 'mencari' makan dengan menjadi pedagang beras kaki lima. Atau sarjana ekonomi menjadi seorang sopir taksi.

Tidak terdapat bentuk pelanggaran undang-undang apapun jika SPd menjadi penjual es keliling, jika SH menjadi penjual beras kaki lima, atau SE menjadi sopir taksi. Mengapa? Banyak alasan yang mendukungnya, antara lain: 1) mencari pekerjaan sama sulitnya dengan menahan godaan untuk mendapatkan tiket surga; 2) hukumnya halal secara juridis; 3) kebutuhan harian sesaat (short term survival) yang tidak bisa ditunda; 4) pandangan lingkungan yang miring jika sarjana nongkrong di rumah. Dan masih banyak lagi alasan lainnya.

Menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan disiplin akademik memang sudah menjadi bentuk pemakluman bersama. Persoalan akan muncul ketika pekerjaan tersebut hanya bisa memenuhi sebagian kecil dari motivasi bekerja, misalnya uang saja atau hanya bebas dari asumsi lingkungan yang tidak-tidak. Di sisi lain, menjadi pengalaman kesyukuran hidup ketika ketidakcocokan tersebut membawa anda ke dalam keadaan yang sesungguhnya menjadi kemujuran tak disengaja. Sudah menerima gaji tinggi, simbol status sosial membanggakan, kemudian seluruh potensi mendapat tempat pemberdayaan secara optimal, meskipun pekerjaan itu tidak sesuai dengan latar belakang akademik anda.

Permasalahan timbul ketika individu yang melakoni pekerjaan yang tidak sesuai latar belakang akademiknya dengan motif keterpaksaan semata dalam upaya menghindar tekanan eksternal. Keterpaksaan inilah letak kesalahan yang sebenarnya, bukan bidang atau job title tertentu. Mengapa? Ketika motivasinya hanya terpaksa maka hidup tidak lagi berupa pilihan-pilihan untuk belajar berkembang melainkan kepastian dan kepasrahan. Padahal kepastian dan kepasrahan itu tidak memberinya banyak arti baik material dan non-material. Akan sangat berbeda jika pilihan diarahkan untuk belajar, berubah, dan berkembang.



Definisi Belajar


Salah satu iklan produk terkenal yang anda lihat kira-kira berbunyi, "Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan". Anda pasti sudah memahami maksud tersiratnya. Tanpa harus anda ciptakan, masa tua akan tiba, tetapi untuk menjadi dewasa anda harus menciptakannya. Bagimana anda menciptakannya? Tidak lain hanyalah belajar dengan basis kehidupan menjadi dewasa. Artinya kehidupan ini harus dijadikan materi untuk belajar dari titik keterbatasan tertentu menuju titik kemampuan berikutnya.

Belajar bagi orang dewasa adalah mencari untuk menemukan sesuatu tentang hidup tidak sebagaimana anak-anak yang hanya menerima dan terkadang masih jauh dari isu-isu kehidupan riilnya. Sejumlah definisi atau konsep yang dikemukakan para ahli tentang definisi belajar bagi orang dewasa bisa anda jadikan rujukan, antara lain:


1

Reg Revans (Penggagas Action Learning)



Belajar bagi orang dewasa, menurut Reg Revans (1998) adalah proses menanyakan sesuatu bermula dari pengalaman ketidaktahuan tentang apa yang akan dilakukan karena jawaban yang ditemukan saat itu tidak lagi valid untuk mengatasi situasi yang sedang terjadi. Dengan kata lain, "Learning is experiencing by exploration and discovery".


2

Bob Sadino



Dalam banyak wawancara yang dikutip oleh sejumlah media cetak, Bob Sadino, seorang pakar di bidang agrobisnis, seringkali melontarkan kata-kata pendek tetapi membutuhkan penjelasan yang tidak cukup dibeberkan dalam satu sessi seminar. Kata-kata itu tidak lain adalah: Cukup lakukan saja! Pernyataan tersebut mengandung makna yang dalam dimana belajar merupakan bentuk transformasi visi ke suatu tindakan lalu berakhir dengan achievement.


3

Charles Handy



Dalam bukunya Inside Organization (1999), Charles Handy mengemukakan bahwa siklus belajar orang dewasa diawali dengan mempertanyakan sesuatu dengan kuriositas tinggi; menemukan jawaban-jawaban teoritis; melakukan testing di lapangan; dan terakhir refleksi – sebuah pemahaman mengenai sesuatu yang bekerja dan yang mandul di dalam diri. Thomas Edison, seorang penemu, adalah contoh paling reliable sepanjang zaman. Dikisahkan bahwa secara pendidikan formal akademik, Edison tergolong siswa yang tidak hebat tetapi ia lebih banyak menggunakan waktunya untuk mengunjungi perpustakaan publik karena Edison menemukan sesuatu yang lebih bekerja terhadap hidupnya yang ia tidak dapatkan di bangku sekolah.

Dengan proses belajar di perpustakaan tersebut Edison menemukan pelajaran tentang relaksasi mental. Meski tidak seorang guru pun yang memahamkannya, tetapi naluri Edison tahu bahwa relaksasi mental lah yang membantunya menciptakan temuan-temuan yang tercatat lebih dari 1000 hak paten hingga ia wafat tahun 1931.


4

Alvin Toffler



Penulis buku terkenal ini mendifinisikan belajar sebagai proses mempersiapkan cara atau strategi menghadapi situasi baru. Perangkatnya meliputi pemahaman, aplikasi dari metodologi baru, keahlian, sikap dan nilai.


Dari definis-definisi diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa belajar bagi orang dewasa ternyata memiliki berbagai dimensi. Oleh karena itu menjadikan pendidikan (education) sebagai representasi tunggal dari proses belajar tidak jarang meninggalkan warisan mindset yang kurang menguntungkan terutama bagi pihak atau individu yang berkemampuan rata-rata atau minus. Lembaga sekolah, selain menciptakan birokrasi formal yang memberikan stigma bahwa sekolah adalah escalator tunggal yang mahal harganya, juga menunjukkan ketertinggalannya dengan kemajuan yang dicapai oleh dunia luar. Akibatnya timbul gap antara pendidikan dengan tuntutan atau kebutuhan yang ada di masyarakat. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar mengapa pengangguran tidak bisa dihindari lagi. Pendidikan belum sepenuhnya menjadi media yang mampu menterjemahkan makna belajar. Hal ini karena makna belajar yang sesungguhnya adalah melakukan sesuatu, kemudian membebaskan diri dari situasi atau tekanan yang diakibatkan ketidaktahuan. Cara terbaik untuk mempelajari sesuatu adalah dengan melakukannya, seperti yang ditulis oleh Rex dan Carolyin Sikes: "We learn about a city from being there, not from a map or guide book. We learned to walk and talk without reading instructions or following recipes. Learning is doing something, then getting rid of the unwanted parasitic movements".



Aplikasi Belajar


Merujuk pada sekian pandangan tentang belajar bagi orang dewasa, maka yang perlu anda lakukan adalah menjadikannya sebagai konsep hidup personal yang implementatif berdasarkan situasi dan kondisi yang anda hadapi. Konsep tersebut harus diformulasikan ke dalam pemahaman khusus yang anda rasakan bekerja mengubah hidup dan situasi, seperti yang dialami Edison. Guru anda adalah situasi konkrit yang anda alami dengan materinya berupa tantangan. Inilah makna esensial dari petuah yang sering anda dengar bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib. Ilmu yang tidak memiliki relevansi dengan situasi hidup anda oleh karena itu menjadi tidak wajib. Bagaimana anda mendapatkannya? Ikutilah formulasi berikut:


1

Sadari keadaan anda saat ini



Terimalah keadaan atau situasi hidup apapun saat ini dengan penuh kesadaran karena kesadaran itu akan menjadi syarat mutlak untuk menaklukkan segala tantangan yang menghadang. Jika anda menerimanya dengan kepasrahan atau penolakan maka selamanya keadaan atau situasi yang tidak menyenangkan tidak bakal meninggalkan anda. Bahkan lambat laun menciptakan lilitan yang lebih tinggi dari kapasitas anda. Tanpa kesadaran untuk berubah, maka perubahan situasi atau kondisi eksternal hanya memberi anda perubahan dalam waktu singkat dan sisanya anda kembali lagi ke format lama. Bahkan ketika anda naik jabatan mendadak, jabatan tersebut hanya anda rasakan kenikmatannya sebentar lalu anda lupa rasanya.


2

Pahami proses



Salah satu pertanda inti dari orang dewasa adalah pemahamannya terhadap bagaimana dunia konkritnya bekerja. Dengan memahami bagaimana sesuatu bekerja menurut hukum alamnya, maka akan membuat anda menjadi bijak menjalani hidup. Tidak lagi berpikir dengan mood atau menerjang kaidah-kaidah hidup yang benar. Di samping itu, pemahaman tersebut akan menyalurkan energi positif ketika proses sedang anda jalani. Di sinilah yang membedakan apakah anda merasakan tantangan sebagai proses untuk dinikmati atau proses yang anda rasakan dengan kepedihan.


3

Kemana anda akan melangkah



Setiap pekerjaan yang anda lakukan, setiap bidang yang anda geluti, setiap profesi yang anda sandang sebenarnya sudah diciptakan tangga kastanya di dalam. Termasuk seperti yang di alami kawan sopir taksi di atas. Ia boleh menjadi sopir , pedagang beras kaki lima, penjual es keliling selamanya meskipun tetap terbuka lebar peluang untuk menjadi manajer atau direktur bahkan pemegang saham di suatu perusahaan. Tangga kasta itulah yang menjadi simbol status anda. Dengan aplikasi prinsip belajar, maka hidup adalah realisasi gagasan, bukan lagi intimidasi orang atau keadaan. Tetaplah berjuang untuk hidup dengan imajinasi anda bukan hidup di dalam sejarah masa lalu atau jebakan realitas sementara.


Dengan memahami makna belajar diharapkan anda dapat menjalani hidup anda dengan penuh sukacita dan tidak didasarkan atas unsur keterpaksaan dan kepasrahan. Terlepas apapun profesi yang anda geluti, baik yang sesuai dengan latar belakang akademik maupun tidak, kesuksesan anda akan sangat tergantung pada bagaimana anda memahami hal tersebut sebagai suatu proses belajar. Semoga berguna.(jp)

Sertifikasi Guru sebaiknya Tidak Diseragamkan



FGII Akan Sampaikan Rekomendasi ke Depdiknas

Jakarta, Kompas - Keterbatasan kapasitas lembaga pendidikan tenaga kependidikan alias LPTK dan keragaman kondisi para guru yang ada membuat sertifikasi guru tidak dapat diseragamkan. Sebaliknya, justru dirasakan perlu berbagai alternatif.

Direktur Eksekutif Asosiasi LPTK Indonesia, Hamid Hasan, hari Kamis (26/1) mengungkapkan bahwa UU Guru dan Dosen mensyaratkan guru berkualifikasi D4 atau S1 untuk bisa mengikuti pendidikan profesi serta di sertifikasi. Hanya saja, kenyataan adanya keberagaman kondisi guru—termasuk kualifikasi dan kompetensi mereka—tidak dapat disangkal. Di sisi lain, kapasitas LPTK tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada, yang mencapai 2,6 juta orang.

Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah tidak menyeragamkan pensertifikasian para guru, melainkan membuat berbagai alternatif agar menghemat waktu dan biaya,” ujarnya.

Guru yang telah berkualifikasi D4 atau S1 dan memiliki akta mengajar, misalnya, cukup dilakukan penilaian melalui portofolionya. Sebut saja semacam akreditasi kinerja dan dilihat kemampuan mereka membuat persiapan mengajar sampai mengevaluasi peserta didik. Mereka tidak perlu lagi ikut pendidikan profesi atau uji untuk sertifikasi.

Adapun bagi mereka yang sudah berpengalaman lama mengajar, bahkan sampai puluhan tahun, meski belum memenuhi kualifikasi—misalnya hanya lulusan SPG atau D1—juga cukup dinilai portofolio kinerjanya selama ini. ”Lalu diberikan sertifikat pendidik, terutama mereka yang sudah berusia mendekati pensiun,” ujarnya.

Jika jasa dan kompetensi mereka tidak diakui, maka sulit sekali bagi negara untuk mempertanggungjawabkannya secara politis. ”Kalau kemampuan mereka tidak diakui negara, nanti masyarakat bisa bertanya-tanya, kenapa tugas mendidik anak bangsa selama ini diberikan kepada orang-orang yang dianggap tidak kompeten?” katanya.

Di tengah keterbatasan kapasitas LPTK untuk memberikan pendidikan profesi, Hamid mengusulkan agar LPTK diberi kesempatan melaksanakan pendidikan jarak jauh tanpa menghilangkan unsur tatap muka. Dalam waktu tertentu, seperti ketika libur panjang sekolah, para peserta pendidikan jarak jauh dapat dikumpulkan untuk tatap muka secara intensif. Model tersebut, menurutnya, memungkinkan dan telah ada negara yang menjalaninya, yakni Australia.

Jangan pemborosan

Secara terpisah, Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, FGII dalam waktu dekat akan memberikan rekomendasi kepada Depdiknas terkait sertifikasi guru. Isu tersebut akan dibawa dalam Rapat Kerja Nasional FGII di Bandar Lampung pada 28-29 Januari 2006. Dia mengatakan, guru yang belum punya akta mengajar dan para calon guru di LPTK dapat diwajibkan ikut pendidikan profesi agar mendapatkan sertifikat profesi.

Namun, FGII berharap guru yang sudah punya akta mengajar tidak perlu lagi mengikuti pendidikan profesi tetapi cukup uji kompetensi. Yang punya akta mengajar itu sudah menjalani mata kuliah dasar keguruan sehingga cukup diuji kompetensinya untuk mendapatkan sertifikat pendidik,” katanya.

Adapun bagi guru yang sudah mempunyai masa kerja lama, bahkan mendekati usia pensiun, tetapi belum memenuhi kualifikasi D4 dan S1 dihargai keahliannya dan cukup dengan uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Jangan mereka ditahan-tahan sehingga tidak mendapatkan sertifikat pendidik. Lalu, ujung-ujungnya tidak dapat tunjangan profesi padahal sudah lama mengabdi.

Kalau ada yang tidak lulus, diperbolehkan mengikuti remedial dan atau dibina lagi. Tetapi, saya yakin secara pedagogis guru yang berpengalaman sudah memadai. Hanya saja barangkali kompetensi lain seperti kompetensi sosial yang kurang karena setelah menjadi guru malah tidak belajar,” kata Iwan.

Berpegang pada pandangan bahwa pendidikan itu sepanjang hayat, pemerintah dapat mendorong dan membantu mereka untuk terus meningkatkan kualifikasi pendidikannya. ”Kami pikir kalau meneruskan pendidikan juga tidak rugi sekalipun menjelang pensiun,” katanya. (INE)