Rabu, 30 Juli 2008

out bond untuk melatih mental SDM

Pesta itu Diberi Nama MOS

Indonesia memiliki agenda besar tahunan pada bulan Juni-Juli. Bukan karena event piala dunia atau kompetisi olah raga lainnya, Namun AGENDA tersebut tidak lain hanyalah agenda pendidikan yang setiap tahun membuat masyarakat terutama orang tua mengalami kebingungan yang besar. Mulai dari pengumuman kelulusan, kenaikan kelas, maupun perpindahan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, dll.

Setelah mengetahui kelulusan anaknya dalam Ujian Nasional, orang tua tidak boleh merasa lega. Pasalnya, mereka dituntut untuk memikirkan kelanjutan studi bagi anak-anaknya. Pada proses ini para orang tua dibuat memeras otak, tidak hanya untuk memilih sekolah yang baik, tetapi juga berpikir dalam mencarikan dana untuk biaya masuk sekolah yang semakin tahun semakin melonjak.

Setelah melalui banyak proses yang melelahkan, barulah sang anak bisa menempati almamater barunya. Tentunya dengan perasaan gembira dan bangga, karena sebagian mereka bisa masuk sekolah favorit atau sekolah yang diidam-idamkan. Kegembiraan para siswa tersebut kemudian disambut oleh pihak sekolah dengan pesta penyambutan siswa baru, dengan digelarnya beberapa acara. Pesta tersebut kemudian dikenal dengan nama Masa Orientasi Siswa

Pada saat inilah, orang tua siswa kembali dibebani oleh masalah yang seharusnya tidak ditangani oleh mereka. Permasalahan yang sebenarnya harus diselesaikan sang anak sebagai siswa. Namun karena tingkat kesulitan yang tinggi, tidak memungkinkan sang anak menyelesaikan tugas MOS secara mandiri Maka tidak heran, jika MOS oleh sebagian orang diplesetkan menjadi Masa Orang tua Sibuk.

Bahkan ada yang ekstrim lagi dengan menyebut MOS sebagai Masa Orang-orang Sinting. Sebutan ini wajar ada karena memang dalam pelaksanaan MOS sering ditemui tugas-tugas yang aneh-aneh, mulai dari membawa barang-barang yang tak masuk akal sampai menggunakan atribut seperti orang ‘tidak waras’. Pihak panitia memberikan alasan kegiatan ‘aneh’ tersebut berfungsi memberikan kesan awal yang mendalam pada siswa sebelum memasuki proses pembelajaran normal.

Berdasarkan singkatan aslinya, kegiatan Masa Orientasi Siswa bertujuan mengenalkan siswa pada lingkungan belajar yang baru, baik itu tentang seluk beluk sekolah maupun gambaran pembelajaran yang akan dilakukan. Beberapa sekolah mengisi acara MOS dengan materi cara belajar yang benar, materi Adiwiyata, Wawasan Kebangsaan, Pramuka, UKS. Ada juga sekolah yang mengisi kegiatan permainan educatif atau out bond di halaman sekolahnya. SMP Muhammadiyah 12 Gresik, mengenalkan laboratorium dan melakukan beberapa attraksi percobaan yang membuat siswa terpancing rasa ingin tahunya. Sehingga pada proses pembelajaran normal, siswa lebih siap dalam menerima materi yang bersangkutan.

Acara semacam di atas itulah yang harusnya menjadi acara utama pada pelaksanaan MOS. Namun hanya beberapa sekolah menempatkan acara-acara tersebut sebagai acara inti. Bahkan ada sekolah yang menyerahkan sepenuhnya konsep acara pada siswa yang diwakili oleh OSIS. Kecenderungan OSIS dalam melaksanakan tugasnya, dicampuri oleh misi pribadinya. Entah itu misi balas dendam, ajang PDKT, atau misi yang lain. Akibatnya kegiatan yang semula memiliki tujuan yang penting bagi siswa baru, menjadi momen yang menakutkan dan membebankan siswa.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kegiatan Masa Orientasi Siswa berjalan sesuai harapan adalah sebagai berikut :


  • Siapkan kesehatan

Tak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan awal tahun ajaran baru ini membutuhkan banyak tenaga, pikiran dan waktu. Mulai dari waktu sekolah sekolah yang lebih panjang, hingga tugas-tugas yang sangat banyak. Oleh karena itu menjaga kondisi tubuh sangat penting. Jangan sampai karena kesehatan yang terganggu, dapat menganggu kegiatan yang terkadang menyenangkan bagi siswa


  • Gunakan kesempatan ini sebagai ajang pembelajaran

Tidak sedikit siswa yang terbantu oleh kegiatan Masa Orientasi Siswa ini dalam hal penyesuaian diri. Aktivitas yang melatih mental, menumbuhkan motivasi sampai memunculkan potensi siswa, biasanya ada dalam serangkaian kegiatan MOS ini, meskipun porsinya cukup kecil. Walaupun seperti itu, siswa diharapkan bisa mengambil pelajaran dari kegiatan ini. Maka bagi siswa, jangan ragu untuk mengeksplorasi kemampuan ketika kegiatan ini.


  • Jangan enggan bertanya

Banyaknya tugas yang tidak jelas, membuat siswa ataupun orang tua siswa kebingungan dalam menyelesaikannya. Tidak ada salahnya, jika siswa bertanya tentang kejelasan tugas yang diberikan. Pertanyaan itu bisa ditujukan ke panitia kegiatan yang biasanya anak OSIS, ataupun panitia dari pihak guru. Bahkan jika terdapat tugas MOS yang terlalu memberatkan, jangan segan untuk bertanya atau melaporkan ke diknas kota setempat.


  • Laporkan pada pihak terkait

Begitu banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaksana MOS, mulai dari iuran, waktu pelaksanaan, hingga materi dan tugas-tugas yang diberikan. Oleh karena itu perlu adanya aturan tegas dari pemerintah tentang batasan penyelenggaraan kegiatan tahunan ini. Jika terdapat ketidakkesesuaian, masyarakat (siswa atau orang tua), bisa melaporkannya ke pihak terkait. Dengan adanya control dari masyarakat ini, diharapkan kegiatan MOS memenuhi target tujuan yaitu mengenalkan dan mempersiapkan siswa di almamater barunya.


  • Kurangi Peran orang tua

Satu hal penting, supaya target tersebut tercapai adalah faktor keikutsertaan orang tua. Seringkali karena tidak tega dengan tugas anaknya, orang tualah yang mengerjakan tugas-tugas tersebut. Orang tua boleh membantu, bahkan memang diharapkan bisa mendampingi, tetapi anaklah yang berperan penting untuk menyelesaikannya. Karena dengan membiarkan anak menyelesaikan tugasnya sendiri, anak akan terlatih kreatifitas, kemandirian dan sikap-sikap positif lainnya. Inilah kunci keberhasilan dan harapan diadakannya Masa Orientasi Siswa.


Selamat mencoba. Selamat memasuki tahun ajaran baru tahun 2008-2009. Semoga sedikit demi sedikit, pendidikan di Indonesia lebih maju dan memajukan bangsa ini.



PERAN MAHASISWA KEGURUAN (CALON GURU) DALAM KEBERHASILAN PENDIDIKAN NASIONAL



Permasalahan pendidikan tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Mulai dari sistem pendidikan yang dirumuskan pemerintah hingga intitusi sekolah yang di dalamnya terdapat komponen guru. Banyak kalangan yang menilai bahwa keberhasilan pendidikan ada di tangan guru. Guru merupakan orang terdepan dan pertama yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Di tengah semrawutnya kebijakan pendidikan nasional di Indonesia, mulai dari kontroversi Ujian Nasional sampai ketidakjelasan kurikulum baru yang oleh pemerintah dinamakan KTSP, gurulah yang menjadi korban pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena guru dianggap memiliki kualitas dan kompetensi yang rendah, sehingga ketidakberhasilan kebijakan dan program tersebut mengkambinghitamkan guru sebagai penyebabnya.

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru adalah dengan membuat Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) nomor 14 tahun 2005. Dampak adanya undang-undang yang yang disahkan pada tanggal 30 bulan Desember 2005 itu adalah pada tahun 2007 akan diadakan sertifikasi bagi guru. Guru yang telah lulus ujian sertifikasi akan memperoleh tunjangan profesi sebesar gaji pokok serta mendapatkan tunjangan yang lain. Awalnya kebijakan ini disambut gembira oleh para guru karena dianggap akan meningkatkan taraf hidup mereka dan sebagai bentuk perhatian pemerintah pada guru. Namun dalam pelaksanaan sertifikasi yang dilaksanakan akhir September 2007, guru mengalami berbagai keluhan, mulai pendaftaran hingga berkas portofolionya. Hasilnya bisa dilihat guru yang berada di wilayah rayon Malang, yang lulus sertifikasi tidak mencapai angka 60 %. Belum lagi ada indikasi bahwa berkas portofolio sebagian merupakan hasil rekayasa guru, bukan portofolio asli. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru belum berhasil.

Salah satu penyebabnya adalah mental guru sekarang yang masih harus diperbaiki. Penelitian Balitbang Diknas yang bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang dalam rangka sertifikasi guru menunjukkan bahwa faktor mental guru sangat berpengaruh terhadap kinerja dan profenionalisme guru. Jika hal itu yang menjadi poin utama permasalahan selama ini, maka permasalahan selanjutnya adalah dimulai dari mana pembangunan mental para guru tersebut? Dan kapan pelaksanaannya? Faktanya banyak para guru yang enggan melakukan pengembangan diri dalam bentuk mengikuti pelatihan atau seminar-seminar, walaupun dibiayai oleh sekolah atau pemerintah. Hal ini dikarenakan jam mengajar guru yang terlalu padat ditambah lagi tugas-tugas administrasi yang menumpuk sehingga guru tidak memiliki lagi waktu untuk keperluan pekerjaannya. Sisa waktu luangnya dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga.

Mengingat kompleknya permasalahan tersebut, ada yang berpendapat jalan keluarnya adalah pemutusan generasi lama oleh generasi baru yang akan melakukan banyak perubahan, baik dalam pemerintahan maupun dalam sekolah. Namun tampaknya solusi itu bukanlah penyelesaian yang terbaik karena tidak bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Upaya yang tepat adalah bagaimana menyiapkan calon guru (mahasiswa keguruan) agar memiliki mental baik dan memiliki profesionalisme dalam bekerja sebagai guru. Usaha inilah yang harus diprioritaskan oleh pemerhati pendidikan termasuk pemerintah. Sebab 10 tahun yang akan datang, guru sekarang akan digantikan oleh calon guru yang saat ini berstatus sebagai mahasiswa keguruan. Jika mahasiswa keguruan tidak mendapat perhatian dari para ahli pendidikan, maka artinya kualitas guru yang akan datang masih sama dengan guru sekarang. Sehingga sedikit sekali harapan bahwa 10 tahun yang akan datang terjadi perubahan positif pada pendidikan nasional

Dalam pelaksanaan program di atas, guru muda dengan jiwa agen perubahannya, akan berfungsi ganda. Selain sebagai sebagai pengubah sistem pendidikan dengan inovasi – inovasi barunya, mereka juga berfungsi sebagai fasilitator guru lama secara perlahan-lahan mengikuti jejak mereka. Sehingga secara bertahap perubahan pendidikan khususnya dalam setiap intitusi pendidikan dan sekolah akan terlihat.

Jika poin utama permasalahan sudah ditemukan, sekarang barulah berpikir bagaimana menyiapkan mahasiswa keguruan (calon guru) agar dapat menjadi guru yang kita inginkan bersama.

Pertama, membenahi proses di LPTK dalam mencetak guru. Idealnya, guru merupakan output dari LPTK (lembaga pendidikan tinggi keguruan) atau dulu dikenal dengan sebutan IKIP. Namun, tidak semua guru lulusan LPTK. Tantangan bagi LPTK sekarang adalah lulusan LPTK belum bisa bersaing dengan lulusan perguruan tinggi yang tidak mencetak guru. Di lapangan masih banyak guru terutama guru swasta yang bukan sarjana pendidikan, meskipun sebagian dari mereka mengikuti pendidikan Akta IV yang ditempuh untuk formalitas administrasi. Akibatnya, guru dalam mendidik tidak dibekali oleh ilmu cara mendidik yang benar. Melihat fenomena tersebut, LPTK harus segera bertindak untuk melakukan pembenahan dalam memproses mahasiswanya agar lulusannya mampu bersaing di lapangan pekerjaan pendidikan, tidak hanya di sekolah formal, tetapi juga di intitusi pendidikan yang lain. Salah satunya dengan seringnya mengadakan pelatihan pendidikan dan seminar-seminar ilmiah tentang pendidikan.

Kedua, mahasiswa keguruan harus memposisikan diri sebagai calon guru sejak awal. Pada umumnya pilihan menjadi mahasiswa keguruan merupakan pilihan kedua pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), bahkan mungkin pilihan terakhir. Hal ini akan berimbas pada proses pelaksanaan pendidikan di kampusnya dilaksanakan secara setengah-setengah. Banyak dari mereka yang tidak puas dan bangga menjadi calon guru atau pendidik. Akibatnya mereka baru mempersiapkan diri menjadi guru yang baik secara mental maupun materi ketika mereka berada di semester akhir, tepatnya pada saat mereka melaksanakan PPL. Untuk mengatasi itu, perlu adanya iklim akademis yang mendukung di lingkungan mahasiswa keguruan. Suasana tersebut dapat diciptakan dengan mengaktifkan forum kajian pendidikan di lingkungan kampus. Aktivitas yang lain contohnya dengan melatih kemampuan mengajar dimulai dari pemberian bimbingan belajar privat. Atau aktivitas lain yang mendukung mahasiswa dalam mempersiapkan diri sebagai seorang guru. Adanya iklim yang kondusif di lingkungan mahasiswa keguruan, membuat mereka menyadari bahwa dirinya calon guru yang turut menentukan keberhasilan pendidikan bangsa ini.

Ketiga, memasyarakatkan peluang guru dalam sisi profesionalisme pekerjaan. Jika sebelumnya profesi guru sama sekali tidak dilirik oleh orang-orang berkualitas (pandai), maka ke depan dengan kesejahteraan yang dijanjikan oleh pemerintah, guru akan menjadi profesi yang setara dengan profesi lain yang menjanjikan secara materi. Ini adalah janji pemerintah dan harapan semua pihak. Oleh karena itu, wacana ini harus disosialisasikan ke masyarakat luas termasuk di sekolah. Sejak siswa SD atau TK, harus dijelaskan prospek profesi guru ke depan. Sehingga siswa yang memiliki kemampuan lebih memilih cita-cita menjadi guru, bukan hanya sebagai cita-cita cadangan. Mereka akan berambisi mewujudkan impiannya itu dengan memilih perguruan tinggi keguruan. Diharapkan 10 tahun selanjutnya mereka yang berkemampuan lebih tersebut, akan mampu mendidik generasi-generasi selanjutnya menjadi lebih baik lagi dan seterusnya.

Ketiga upaya di atas, semuanya harus segera dipikirkan dan dilaksanakan bersama, terutama bagi pemerintah. Ketiga upaya tersebut, yang paling berat dilakukan dan itu harus dilakukan terlebih dahulu adalah upaya yang ketiga. Upaya ini agak sulit dilakukan karena membutuhkan bukti kongkret dari pemerintah. Namun dengan niat yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan dengan dukungan oleh semua pihak yang berpengaruh, tidak menutup kemungkinan upaya ini akan berjalan dengan baik. Tentunya semuanya harus memiliki misi besar yang sama yaitu ingin memajukan bangsa ini melalui pendidikan nasional.


Minggu, 27 Juli 2008

memaknai pendidikan

beberapa para ahli berbeda jika ditanya tentang makna pendidikan.
tetapi hampir semuanya sepakat bahwa pendidikan memiliki tujuan akhir
memanusiakan manusia.
namun kesepakatan konsepsi itu sepertinya hanya ada dalam buku literatur saja.
melihat banyak intansi yang menyatakan lembaga pendidikan bahkan menamakan sekolah,
tetapi aktivitasnya sama sekali tidak memanusiakan peserta didiknya.
pertanyaan kemudian apakah ada di era sekarang, lembaga yang benar-benar memanusiakan manusia, layaknya seorang ibu yang sedang mengasuh bayinya. itulah gambaran konkret pendidikan