Rabu, 13 Agustus 2008



Profesi Guru, Antara Pengabdian dan Tuntutan

Terpujilah Wahai Engkau Ibu Bapak Guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

S'bagai prasasti t'rima kasihku `tuk pengabdianmu dst.

Syair lagu Hymne Guru ini sudah sering sekali kita dengar dan nyanyikan. Seandainya kita coba mengkaji lebih dalam akan arti/makna dari lagu tersebut, maka tampaklah sebuah gambaran keseharian seorang guru, dengan loyalitasnya, ketekunan serta pengor-banan dalam mendidik siswa untuk mencapai suatu proses perkembangan yang optimal. Namun, dibalik itu semua juga tersirat suatu dilema profesi ini dimana seringkali guru tidak menerima penghargaan ataupun perlakuan yang sebanding dengan apa yang telah dikorbankan. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai seorang guru apakah yang harus kita lakukan? Bagaimana pula sebaiknya kita menyikapi hal ini dengan lebih arif dan bijaksana? Karangan ini hanyalah sebuah tulisan dari pemikiran dan diskusi yang teoritis ini, namun de-ngan yang teoritis ini, penulis bisa berharap dapat memberikan masukan un- tuk merefleksikan kembali pilihan kita.

PENGERTIAN PROFESI

Profesi berasal dari bahasa latin "Proffesio" yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi: kegiatan "apa saja" dan "siapa saja" untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keah-lian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial de-ngan baik.

Jabatan Guru Sebagai Suatu Profesi

Jabatan guru dapat dikatakan sebuah profesi karena menjadi seorang guru dituntut suatu keahlian tertentu (meng-ajar, mengelola kelas, merancang peng-ajaran) dan dari pekerjaan ini se- seorang dapat memiliki nafkah bagi kehidupan selanjutnya. Hal ini berlaku sama pada pekerjaan lain. Namun da-lam perjalanan selanjutnya, mengapa profesi guru menjadi berbeda dari pekerjaan lain. Menurut artikel "The Limit of Teaching Proffesion," profesi guru termasuk ke dalam profesi khusus _ selain dokter, penasihat hukum, pastur. Kekhususannya adalah bahwa hakekatnya terjadi dalam suatu bentuk pela-yanan manusia atau masyarakat. Orang yang menjalankan profesi ini hendak-nya menyadari bahwa ia hidup dari padanya, itu haknya; ia dan keluarga-nya harus hidup _ akan tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang menjadi motivasi utamanya, melainkan kese- diaannya untuk melayani sesama.

Di lain pihak profesi guru juga disebut sebagai profesi yang luhur. Dalam hal ini, perlu disadari bahwa seorang guru dalam melaksanakan profesinya dituntut adanya budi luhur dan akhlak yang tinggi. Mereka (guru) dalam ke-adaan darurat dianggap wajib juga membantu tanpa imbalan yang cocok. Atau dengan kata lain hakikat profesi luhur adalah pengabdian kemanusia-an.

Dua Prinsip Etika Profesi Luhur

Tuntutan dasar etika profesi luhur yang pertama ialah agar profesi itu dijalankan tanpa pamrih. Dr. B. Kieser menuliskan:

"Seluruh ilmu dan usahanya hanya demi kebaikan pasien/klien. Menurut keyakinan orang dan menurut aturan-aturan kelompok (profesi luhur), para profesional wajib membaktikan keahlinan mereka semata-mata kepada kepentingan yang mereka layani, tanpa menghitung untung ruginya sendiri. Sebaliknya, dalam semua etika profesi, cacat jiwa pokok dari seorang profe-sional ialah bahwa ia mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepen-tingan klien."

Yang kedua adalah bahwa para pelaksana profesi luhur ini harus memiliki pegangan atau pedoman yang ditaati dan diperlukan oleh para anggota profesi, agar kepercayaan para klien tidak disalahgunakan. Selanjutnya hal ini kita kenal sebagai kode etik. Mengingat fungsi dari kode etik itu, maka profesi luhur menuntut seseorang untuk menjalankan tugasnya dalam ke-adaan apapun tetap menjunjung tinggi tuntutan profesinya.

Kesimpulannya adalah jabatan gu-ru juga merupakan sebuah profesi. Namun demikian profesi ini tidak sama seperti profesi-profesi pada umumnya. Bahkan boleh dikatakan bahwa profesi guru adalah profesi khusus _ luhur. Mereka yang memilih profesi ini wajib menginsafi dan menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bu-kan semata-mata segi materinya belaka.

Tuntutan Seorang Guru

Di atas telah dijelaskan tentang mengapa profesi guru sebagai profesi khusus dan luhur. Berikut akan diuraikan tentang 2 tuntutan yang harus dipilih dan dilaksanakan guru dalam upaya mendewasakan anak didik. Tuntutan itu ada-lah:

  1. Mengembangkan visi anak didik tentang apa yang baik dan mengembangkan self esteem anak didik.

  2. Mengembangkan potensi umum sehingga dapat bertingkah laku secara kritis terhadap pilihan-pilihan. Secara konkrit anak didik mampu mengambil keputusan untuk menentukan mana yang baik atau ti-dak baik.

Apabila seorang guru dalam kehidupan pekerjaannya menjadikan pokok satu sebagai tuntutan yang dipenuhi maka yang terjadi pada anak didik adalah suatu pengembangan konsep manusia terhadap apa yang baik dan bersifat eks-klusif. Maksudnya adalah bahwa konsep manusia terhadap apa yang baik hanya dikembangkan dari sudut pandang yang sudah ada pada diri siswa sehingga tak terakomodir konsep baik secara universal. Dalam hal ini, anak didik tidak di-ajarkan bahwa untuk mengerti akan apa yang baik tidak hanya bertitik tolak pada diri siswa sendiri tetapi perlu mengerti konsep ini dari orang lain atau lingkungan sehingga menutup kemung-kinan akan timbulnya visi bersama (ke-lompok) akan hal yang baik.

Berbeda dengan tujuan yang pertama, tujuan yang kedua lebih menekankan akan kemampuan dan peranan lingkungan dalam menentukan apa yang baik tidak hanya berdasarkan pada diri namun juga pada orang lain berikut akibatnya. Di lain pihak guru mempersiapkan anak didik untuk melaksanakan kebebasannya dalam mengem- bangkan visi apa yang baik secara kon-krit dengan penuh rasa tanggung jawab di tengah kehidupan bermasya-rakat sehingga pada akhirnya akan terbentuklah dalam diri anak sense of justice dan sense of good.

Komitmen guru dalam mengajar guna pencapaian tujuan mengajar yang kedua lebih lanjut diuraikan bahwa guru harus memiliki loyalitas terhadap apa yang ditentukan oleh lembaga (sekolah). Sekolah selanjutnya akan mengatur guru, KBM dan siswa supaya mengalami proses belajar mengajar yang berlangsung dengan baik dan supaya tidak terjadi penyalahgunaan jabatan. Namun demikian, sekolah juga perlu memberikan kebebasan bagi guru untuk mengembangkan, memvariasikan, kreativitas dalam merencanakan, membuat dan mengevaluasi sesuatu proses yang baik (guru mempunyai oto-nomi). Hal ini menjadi perlu bagi se- orang yang profesional dalam peker- jaannya.

Masyarakat umum juga dapat membantu guru dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap `proses' anak didik. Ma-syarakat dapat mengajukan saran, kritik bagi lembaga (sekolah). Lembaga (sekolah) boleh saja mempertimbangkan atau menggunakan masukan dari masyarakat untuk mengembangkan pendidikan tetapi lembaga (sekolah) atau guru tidak boleh bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat karena hal ini menyebabkan hilangnya profesionalitas guru dan otonomi lembaga (sekolah) atau guru.

Dengan demikian, pemahaman akan visi pekerjaan sesuai dengan etika moral profesi perlu dipahami agar tuntutan yang diberikan kepada guru bukan dianggap sebagai beban melainkan visi yang akan dicapai guru melalui pro-ses belajar mengajar. Guru perlu diberikan otonomi untuk mengembangkan dan mencapai tuntutan tersebut.

Daftar Pustaka

  1. Hand Out "Etika Profesi," Unika Atmajaya.

  2. Bernhard Kieser "Etika Profesi," Tantangan untuk menjadi hati nurani rakyat", 1986.

  3. Franz Magnus Sureno "Etika Dasar," 1986.

  4. Catatan Etika Khusus Dosen Bapak Andre Ata Udjan, Unika Atmajaya.

Yunita Maria Yeni M. , S.Pd. SLTPK 5 Cipinang

Kurikulum Satuan Pendidikan


Jakarta, Kompas - Sejumlah sekolah mulai berusaha menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengacu pada Standar Isi yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan-pelatihan pun mulai diselenggarakan.

Namun, sejauh ini guru dan sekolah sebagai pelaksana masih meraba-raba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka juga khawatir kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar.

Hasil pantauan ke sejumlah sekolah di Jakarta, pekan lalu, menunjukkan bahwa kesulitan dan kerumitan itu terutama dirasakan oleh guru di sekolah yang tidak sempat merasakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tiba-tiba kini mereka diarahkan menjalankan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Belum diterapkan

Maemunah selaku Kepala SD Negeri Palmerah 07 Pagi, Jakarta Barat, mengaku sudah mendapatkan penjelasan terkait dengan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Begitu pun sejumlah guru dan kepala sekolah yang ditemui terpisah.

"Saya sempat ikut sosialisasi yang diadakan Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat. Informasinya, di Jakarta pelaksanaan penuh kurikulum tingkat satuan pendidikan mulai tahun ajaran 2007. Akan tetapi, sekolah kami sendiri berkeinginan untuk memulai pelaksanaan kurikulum tersebut pada semester dua tahun ajaran ini supaya sekaligus mempraktikkan penggunaannya," kata Maemunah.

Dengan adanya kurikulum tingkat satuan pendidikan itu, nantinya setiap sekolah mempunyai kurikulum berbeda-beda. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) hanya memberikan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk tiap mata pelajaran, sebagaimana tertuang dalam Standar Isi yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.

Bagi guru-guru di SD Negeri Palmerah 07 Pagi, perubahan itu cukup menyulitkan mengingat selama ini mereka menggunakan Kurikulum 1994. Sebaliknya, bagi sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2006—lebih dikenal sebagai KBK, kesulitan yang mereka rasakan tidak terlalu besar.

Mochamad Nasir, guru kelas VI SD Negeri Palmerah 07 Pagi, mengakui hal itu. Kalau pada Kurikulum 1994 materi yang akan disampaikan pada tiap mata pelajaran telah dirinci secara detail, pada kurikulum tingkat satuan pendidikan ternyata tidak demikian.

"Yang ada hanya standar kompetensi dan kompetensi dasar sehingga ada yang menyebutnya kurikulum dua kolom. Materi yang akan disampaikan selama satu semester, indikator, dan bahan ajar harus dirancang sendiri oleh sekolah dan guru," ujarnya.

Sebaliknya bagi Ngajio, guru di SD Negeri Palmerah 15 Pagi, yang sebelumnya telah menjalankan KBK. Ia mengaku lebih mudah beradaptasi dengan model kurikulum baru tersebut. Waktu menjalankan KBK, kata Ngajio, guru bahkan telah belajar mengembangkan indikator-indikator pembelajaran dan menyusun langkah-langkah belajar.

Menurut Ketua Federasi Guru Independen Indonesia Suparman, kurikulum tingkat satuan pendidikan membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama, yakni terlalu bergantung pada birokrasi.

"Jangan-jangan nanti sekolah hanya menduplikasi isi kurikulum lama tanpa memanfaatkan peluang yang ada untuk mengembangkan sekolah," kata guru SMA Negeri 17 Jakarta ini.

Bandung curi peluang

Ketika guru-guru di Jakarta masih sibuk dengan program sosialisasi, langkah maju justru terjadi di Kota Bandung. Guru-guru di sini malah telah mendeklarasikan penggunaan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran 2006/2007.

"Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan satu peluang bagi sekolah untuk mengurus diri sendiri, tidak hanya untuk manajemen sekolah, tetapi juga secara akademis," kata Cucu Saputra, Kepala SMA Negeri 3 Bandung.

Hanya saja, diakuinya bahwa penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan perlu proses karena sudah terlalu lama sekolah diatur oleh pemerintah. Sekolah butuh sosialisasi dan proses pengalaman. "Pelatihan-pelatihan sudah ada, namun lebih banyak digagas oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran alias MGMP," ujarnya. (INE)

BSNP, Akreditasi, Sertifikasi, dan Penjaminan Mutu

PAGIAN pertama telah dijelaskan untuk mendukung tercapainya Standar Nasional Pendidikan dibentuk sebuah badan yang disebut Badan Standar Nasional Pendidikan yang disingkat BSNP yaitu sebuah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, mengatur pelaksanaan dan mengevaluasi Standar Nasional Pendidikan. Oleh sebab itu badan ini bersifat mandiri dan profesional. Dalam menjalankan tugasnya itu BSNP mempunyai kewenangan untuk: (1) Mengembangkan Standar Nasional Pendidikan, (2) Menyelenggarakan ujian nasional, (3) Memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan, (4) Merumuskan kriteria lulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Karena sifatnya BSNP yang mandiri dan profesional, keanggotaannya terdiri dari para ahli dari disiplin ilmu yang relevan yaitu ahli dalam bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum, manajemen pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan.

Evaluasi Standar Nasional Pendidikan yang dikerjakan oleh BSNP meliputi kinerja pendidikan yang dilakukan oleh semua satuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi sebagai bentuk pertanggungjawaban (akuntabilitas) penyelenggaraan pendidikan, kinerja pendidikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dan evaluasi oleh lembaga evaluasi mandiri yang dibentuk oleh masyarakat atau organisasi profesi untuk menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.

Evaluasi kinerja pendidikan dilakukan oleh satuan pendidikan meliputi sekurang-kurangnya: tingkat kehadiran peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kegiatan ekstra kurikuler, hasil belajar peserta didik, dan realisasi anggaran.

Evaluasi kinerja pendidikan oleh pemerintah dilakukan oleh menteri terhadap pengelolaan, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Evaluasi kinerja pendidikan oleh pemerintah daerah dilakukan terhadap pengelolaan, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan, pada pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan non formal termasuk pendidikan anak usia dini secara berkala.



Akreditasi

Akreditasi adalah suatu kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh suatu badan yang disebut Badan Akreditasi Nasional (BAN) untuk mengakreditasi atau menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan. Akreditasi dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban secara obyektif, adil, transparan dan komprehensif oleh satuan pendidikan kepada publik.

Untuk melakukan akreditasi agar penyelenggaraan pendidikan pada semua lingkup mengacu pada Standar Nasional Pendidikan, pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang namanya dibedakan menurut satuan, jalur dan jenjang pendidikan. Program atau satuan pendidikan pada jalur formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah diakreditasi oleh BAN-S/M (Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasyah) yang pada tingkat propinsi dibentuk oleh gubernur.

Program atau satuan pendidikan jalur non formal diakreditasi oleh BAN-PNF (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non-Formal), sedangkan pada program dan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi diakreditasi oleh BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi).



Sertifikasi

Standar pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada penjelasan di atas mengandung pengertian bahwa ijazah dan/atau sertifikasi diberikan kepada peserta didik setelah mencapai atau memiliki kompetensi dari suatu program dari satuan pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Dengan kata lain ijazah diberikan oleh satuan pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi sebagai tanda bukti bagi peserta didik yang telah lulus.

Sedangkan sertifikasi kompetensi diberikan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui pemerintah sebagai bukti bagi peserta didik telah lulus uji kompetensi.

Sertifikasi kompetensi dapat pula diberikan kepada peserta didik pada jalur pendidikan informal setara dengan pendidikan formal apabila telah lulus uji kompetensi. Pemberlakuan yang sama pula pada peserta didik pada jalur pendidikan informal dapat memperoleh ijazah yang setara dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal apabila yang bersangkutan lulus uji kompetensi dan Ujian Nasional (UN).



Penjaminan Mutu

Penjaminan mutu adalah satu proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan sehingga para pelanggan, pemakai atau user memperoleh kepuasan. Penjaminan mutu pendidikan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan mutu pendidikan pada jenjang, jenis dan jalur pada satuan pendidikan. Penjaminan mutu dapat dilakukan secara internal oleh satuan pendidikan yang bersangkutan dan dapat pula dilakukan secara eksternal oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) baik pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta pada jalur pendidikan non formal.

Kewajiban untuk melakukan penjaminan mutu pada setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan non formal diatur dalam PP No. 19 Tahun 2005 pasal 91 yang tujuannya adalah untuk memenuhi bahkan melampaui Standar Nasional Pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis, terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.**

Makna Belajar Bagi Orang Dewasa




Jakarta, 4 Februari 2003



"Untuk apa sekolah tinggi, toh akhirnya sama saja, bingung ke mana mencari pekerjaan yang cocok. Ijazah akademik tidak memberi jaminan identitas yang segagah gelarnya. Bahkan sudah tidak lagi bisa dihitung dengan jari jumlah kawan sesama sopir taksi yang bergelar sarjana. Bukankah hidup itu yang paling pokok adalah memiliki sumber penghasilan yang cukup untuk menutup pengeluaran dan sisanya ditabung buat warisan, benarkan Pak?". Begitulah perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang sopir taksi dalam suatu pembicaraan santai. Logika dan pertanyaan pembenar sopir taksi itu bisa dijawab benar dan tidak benar.


Kenyataan membuktikan semakin banyak jumlah kaum akademik yang tidak mendapatkan pekerjaan sesuai dengan disiplin ilmu atau gelarnya. Artinya ia menjalani pekerjaan yang semestinya tidak harus dilakukan setelah ia menyandang gelar akademik kebanggaannya. Ambillah contoh jika seorang sarjana pendidikan harus menjadi pedagang es keliling atau seorang sarjana hukum 'mencari' makan dengan menjadi pedagang beras kaki lima. Atau sarjana ekonomi menjadi seorang sopir taksi.

Tidak terdapat bentuk pelanggaran undang-undang apapun jika SPd menjadi penjual es keliling, jika SH menjadi penjual beras kaki lima, atau SE menjadi sopir taksi. Mengapa? Banyak alasan yang mendukungnya, antara lain: 1) mencari pekerjaan sama sulitnya dengan menahan godaan untuk mendapatkan tiket surga; 2) hukumnya halal secara juridis; 3) kebutuhan harian sesaat (short term survival) yang tidak bisa ditunda; 4) pandangan lingkungan yang miring jika sarjana nongkrong di rumah. Dan masih banyak lagi alasan lainnya.

Menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan disiplin akademik memang sudah menjadi bentuk pemakluman bersama. Persoalan akan muncul ketika pekerjaan tersebut hanya bisa memenuhi sebagian kecil dari motivasi bekerja, misalnya uang saja atau hanya bebas dari asumsi lingkungan yang tidak-tidak. Di sisi lain, menjadi pengalaman kesyukuran hidup ketika ketidakcocokan tersebut membawa anda ke dalam keadaan yang sesungguhnya menjadi kemujuran tak disengaja. Sudah menerima gaji tinggi, simbol status sosial membanggakan, kemudian seluruh potensi mendapat tempat pemberdayaan secara optimal, meskipun pekerjaan itu tidak sesuai dengan latar belakang akademik anda.

Permasalahan timbul ketika individu yang melakoni pekerjaan yang tidak sesuai latar belakang akademiknya dengan motif keterpaksaan semata dalam upaya menghindar tekanan eksternal. Keterpaksaan inilah letak kesalahan yang sebenarnya, bukan bidang atau job title tertentu. Mengapa? Ketika motivasinya hanya terpaksa maka hidup tidak lagi berupa pilihan-pilihan untuk belajar berkembang melainkan kepastian dan kepasrahan. Padahal kepastian dan kepasrahan itu tidak memberinya banyak arti baik material dan non-material. Akan sangat berbeda jika pilihan diarahkan untuk belajar, berubah, dan berkembang.



Definisi Belajar


Salah satu iklan produk terkenal yang anda lihat kira-kira berbunyi, "Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan". Anda pasti sudah memahami maksud tersiratnya. Tanpa harus anda ciptakan, masa tua akan tiba, tetapi untuk menjadi dewasa anda harus menciptakannya. Bagimana anda menciptakannya? Tidak lain hanyalah belajar dengan basis kehidupan menjadi dewasa. Artinya kehidupan ini harus dijadikan materi untuk belajar dari titik keterbatasan tertentu menuju titik kemampuan berikutnya.

Belajar bagi orang dewasa adalah mencari untuk menemukan sesuatu tentang hidup tidak sebagaimana anak-anak yang hanya menerima dan terkadang masih jauh dari isu-isu kehidupan riilnya. Sejumlah definisi atau konsep yang dikemukakan para ahli tentang definisi belajar bagi orang dewasa bisa anda jadikan rujukan, antara lain:


1

Reg Revans (Penggagas Action Learning)



Belajar bagi orang dewasa, menurut Reg Revans (1998) adalah proses menanyakan sesuatu bermula dari pengalaman ketidaktahuan tentang apa yang akan dilakukan karena jawaban yang ditemukan saat itu tidak lagi valid untuk mengatasi situasi yang sedang terjadi. Dengan kata lain, "Learning is experiencing by exploration and discovery".


2

Bob Sadino



Dalam banyak wawancara yang dikutip oleh sejumlah media cetak, Bob Sadino, seorang pakar di bidang agrobisnis, seringkali melontarkan kata-kata pendek tetapi membutuhkan penjelasan yang tidak cukup dibeberkan dalam satu sessi seminar. Kata-kata itu tidak lain adalah: Cukup lakukan saja! Pernyataan tersebut mengandung makna yang dalam dimana belajar merupakan bentuk transformasi visi ke suatu tindakan lalu berakhir dengan achievement.


3

Charles Handy



Dalam bukunya Inside Organization (1999), Charles Handy mengemukakan bahwa siklus belajar orang dewasa diawali dengan mempertanyakan sesuatu dengan kuriositas tinggi; menemukan jawaban-jawaban teoritis; melakukan testing di lapangan; dan terakhir refleksi – sebuah pemahaman mengenai sesuatu yang bekerja dan yang mandul di dalam diri. Thomas Edison, seorang penemu, adalah contoh paling reliable sepanjang zaman. Dikisahkan bahwa secara pendidikan formal akademik, Edison tergolong siswa yang tidak hebat tetapi ia lebih banyak menggunakan waktunya untuk mengunjungi perpustakaan publik karena Edison menemukan sesuatu yang lebih bekerja terhadap hidupnya yang ia tidak dapatkan di bangku sekolah.

Dengan proses belajar di perpustakaan tersebut Edison menemukan pelajaran tentang relaksasi mental. Meski tidak seorang guru pun yang memahamkannya, tetapi naluri Edison tahu bahwa relaksasi mental lah yang membantunya menciptakan temuan-temuan yang tercatat lebih dari 1000 hak paten hingga ia wafat tahun 1931.


4

Alvin Toffler



Penulis buku terkenal ini mendifinisikan belajar sebagai proses mempersiapkan cara atau strategi menghadapi situasi baru. Perangkatnya meliputi pemahaman, aplikasi dari metodologi baru, keahlian, sikap dan nilai.


Dari definis-definisi diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa belajar bagi orang dewasa ternyata memiliki berbagai dimensi. Oleh karena itu menjadikan pendidikan (education) sebagai representasi tunggal dari proses belajar tidak jarang meninggalkan warisan mindset yang kurang menguntungkan terutama bagi pihak atau individu yang berkemampuan rata-rata atau minus. Lembaga sekolah, selain menciptakan birokrasi formal yang memberikan stigma bahwa sekolah adalah escalator tunggal yang mahal harganya, juga menunjukkan ketertinggalannya dengan kemajuan yang dicapai oleh dunia luar. Akibatnya timbul gap antara pendidikan dengan tuntutan atau kebutuhan yang ada di masyarakat. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar mengapa pengangguran tidak bisa dihindari lagi. Pendidikan belum sepenuhnya menjadi media yang mampu menterjemahkan makna belajar. Hal ini karena makna belajar yang sesungguhnya adalah melakukan sesuatu, kemudian membebaskan diri dari situasi atau tekanan yang diakibatkan ketidaktahuan. Cara terbaik untuk mempelajari sesuatu adalah dengan melakukannya, seperti yang ditulis oleh Rex dan Carolyin Sikes: "We learn about a city from being there, not from a map or guide book. We learned to walk and talk without reading instructions or following recipes. Learning is doing something, then getting rid of the unwanted parasitic movements".



Aplikasi Belajar


Merujuk pada sekian pandangan tentang belajar bagi orang dewasa, maka yang perlu anda lakukan adalah menjadikannya sebagai konsep hidup personal yang implementatif berdasarkan situasi dan kondisi yang anda hadapi. Konsep tersebut harus diformulasikan ke dalam pemahaman khusus yang anda rasakan bekerja mengubah hidup dan situasi, seperti yang dialami Edison. Guru anda adalah situasi konkrit yang anda alami dengan materinya berupa tantangan. Inilah makna esensial dari petuah yang sering anda dengar bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib. Ilmu yang tidak memiliki relevansi dengan situasi hidup anda oleh karena itu menjadi tidak wajib. Bagaimana anda mendapatkannya? Ikutilah formulasi berikut:


1

Sadari keadaan anda saat ini



Terimalah keadaan atau situasi hidup apapun saat ini dengan penuh kesadaran karena kesadaran itu akan menjadi syarat mutlak untuk menaklukkan segala tantangan yang menghadang. Jika anda menerimanya dengan kepasrahan atau penolakan maka selamanya keadaan atau situasi yang tidak menyenangkan tidak bakal meninggalkan anda. Bahkan lambat laun menciptakan lilitan yang lebih tinggi dari kapasitas anda. Tanpa kesadaran untuk berubah, maka perubahan situasi atau kondisi eksternal hanya memberi anda perubahan dalam waktu singkat dan sisanya anda kembali lagi ke format lama. Bahkan ketika anda naik jabatan mendadak, jabatan tersebut hanya anda rasakan kenikmatannya sebentar lalu anda lupa rasanya.


2

Pahami proses



Salah satu pertanda inti dari orang dewasa adalah pemahamannya terhadap bagaimana dunia konkritnya bekerja. Dengan memahami bagaimana sesuatu bekerja menurut hukum alamnya, maka akan membuat anda menjadi bijak menjalani hidup. Tidak lagi berpikir dengan mood atau menerjang kaidah-kaidah hidup yang benar. Di samping itu, pemahaman tersebut akan menyalurkan energi positif ketika proses sedang anda jalani. Di sinilah yang membedakan apakah anda merasakan tantangan sebagai proses untuk dinikmati atau proses yang anda rasakan dengan kepedihan.


3

Kemana anda akan melangkah



Setiap pekerjaan yang anda lakukan, setiap bidang yang anda geluti, setiap profesi yang anda sandang sebenarnya sudah diciptakan tangga kastanya di dalam. Termasuk seperti yang di alami kawan sopir taksi di atas. Ia boleh menjadi sopir , pedagang beras kaki lima, penjual es keliling selamanya meskipun tetap terbuka lebar peluang untuk menjadi manajer atau direktur bahkan pemegang saham di suatu perusahaan. Tangga kasta itulah yang menjadi simbol status anda. Dengan aplikasi prinsip belajar, maka hidup adalah realisasi gagasan, bukan lagi intimidasi orang atau keadaan. Tetaplah berjuang untuk hidup dengan imajinasi anda bukan hidup di dalam sejarah masa lalu atau jebakan realitas sementara.


Dengan memahami makna belajar diharapkan anda dapat menjalani hidup anda dengan penuh sukacita dan tidak didasarkan atas unsur keterpaksaan dan kepasrahan. Terlepas apapun profesi yang anda geluti, baik yang sesuai dengan latar belakang akademik maupun tidak, kesuksesan anda akan sangat tergantung pada bagaimana anda memahami hal tersebut sebagai suatu proses belajar. Semoga berguna.(jp)

Sertifikasi Guru sebaiknya Tidak Diseragamkan



FGII Akan Sampaikan Rekomendasi ke Depdiknas

Jakarta, Kompas - Keterbatasan kapasitas lembaga pendidikan tenaga kependidikan alias LPTK dan keragaman kondisi para guru yang ada membuat sertifikasi guru tidak dapat diseragamkan. Sebaliknya, justru dirasakan perlu berbagai alternatif.

Direktur Eksekutif Asosiasi LPTK Indonesia, Hamid Hasan, hari Kamis (26/1) mengungkapkan bahwa UU Guru dan Dosen mensyaratkan guru berkualifikasi D4 atau S1 untuk bisa mengikuti pendidikan profesi serta di sertifikasi. Hanya saja, kenyataan adanya keberagaman kondisi guru—termasuk kualifikasi dan kompetensi mereka—tidak dapat disangkal. Di sisi lain, kapasitas LPTK tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada, yang mencapai 2,6 juta orang.

Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah tidak menyeragamkan pensertifikasian para guru, melainkan membuat berbagai alternatif agar menghemat waktu dan biaya,” ujarnya.

Guru yang telah berkualifikasi D4 atau S1 dan memiliki akta mengajar, misalnya, cukup dilakukan penilaian melalui portofolionya. Sebut saja semacam akreditasi kinerja dan dilihat kemampuan mereka membuat persiapan mengajar sampai mengevaluasi peserta didik. Mereka tidak perlu lagi ikut pendidikan profesi atau uji untuk sertifikasi.

Adapun bagi mereka yang sudah berpengalaman lama mengajar, bahkan sampai puluhan tahun, meski belum memenuhi kualifikasi—misalnya hanya lulusan SPG atau D1—juga cukup dinilai portofolio kinerjanya selama ini. ”Lalu diberikan sertifikat pendidik, terutama mereka yang sudah berusia mendekati pensiun,” ujarnya.

Jika jasa dan kompetensi mereka tidak diakui, maka sulit sekali bagi negara untuk mempertanggungjawabkannya secara politis. ”Kalau kemampuan mereka tidak diakui negara, nanti masyarakat bisa bertanya-tanya, kenapa tugas mendidik anak bangsa selama ini diberikan kepada orang-orang yang dianggap tidak kompeten?” katanya.

Di tengah keterbatasan kapasitas LPTK untuk memberikan pendidikan profesi, Hamid mengusulkan agar LPTK diberi kesempatan melaksanakan pendidikan jarak jauh tanpa menghilangkan unsur tatap muka. Dalam waktu tertentu, seperti ketika libur panjang sekolah, para peserta pendidikan jarak jauh dapat dikumpulkan untuk tatap muka secara intensif. Model tersebut, menurutnya, memungkinkan dan telah ada negara yang menjalaninya, yakni Australia.

Jangan pemborosan

Secara terpisah, Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, FGII dalam waktu dekat akan memberikan rekomendasi kepada Depdiknas terkait sertifikasi guru. Isu tersebut akan dibawa dalam Rapat Kerja Nasional FGII di Bandar Lampung pada 28-29 Januari 2006. Dia mengatakan, guru yang belum punya akta mengajar dan para calon guru di LPTK dapat diwajibkan ikut pendidikan profesi agar mendapatkan sertifikat profesi.

Namun, FGII berharap guru yang sudah punya akta mengajar tidak perlu lagi mengikuti pendidikan profesi tetapi cukup uji kompetensi. Yang punya akta mengajar itu sudah menjalani mata kuliah dasar keguruan sehingga cukup diuji kompetensinya untuk mendapatkan sertifikat pendidik,” katanya.

Adapun bagi guru yang sudah mempunyai masa kerja lama, bahkan mendekati usia pensiun, tetapi belum memenuhi kualifikasi D4 dan S1 dihargai keahliannya dan cukup dengan uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Jangan mereka ditahan-tahan sehingga tidak mendapatkan sertifikat pendidik. Lalu, ujung-ujungnya tidak dapat tunjangan profesi padahal sudah lama mengabdi.

Kalau ada yang tidak lulus, diperbolehkan mengikuti remedial dan atau dibina lagi. Tetapi, saya yakin secara pedagogis guru yang berpengalaman sudah memadai. Hanya saja barangkali kompetensi lain seperti kompetensi sosial yang kurang karena setelah menjadi guru malah tidak belajar,” kata Iwan.

Berpegang pada pandangan bahwa pendidikan itu sepanjang hayat, pemerintah dapat mendorong dan membantu mereka untuk terus meningkatkan kualifikasi pendidikannya. ”Kami pikir kalau meneruskan pendidikan juga tidak rugi sekalipun menjelang pensiun,” katanya. (INE)

Rabu, 30 Juli 2008

out bond untuk melatih mental SDM

Pesta itu Diberi Nama MOS

Indonesia memiliki agenda besar tahunan pada bulan Juni-Juli. Bukan karena event piala dunia atau kompetisi olah raga lainnya, Namun AGENDA tersebut tidak lain hanyalah agenda pendidikan yang setiap tahun membuat masyarakat terutama orang tua mengalami kebingungan yang besar. Mulai dari pengumuman kelulusan, kenaikan kelas, maupun perpindahan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, dll.

Setelah mengetahui kelulusan anaknya dalam Ujian Nasional, orang tua tidak boleh merasa lega. Pasalnya, mereka dituntut untuk memikirkan kelanjutan studi bagi anak-anaknya. Pada proses ini para orang tua dibuat memeras otak, tidak hanya untuk memilih sekolah yang baik, tetapi juga berpikir dalam mencarikan dana untuk biaya masuk sekolah yang semakin tahun semakin melonjak.

Setelah melalui banyak proses yang melelahkan, barulah sang anak bisa menempati almamater barunya. Tentunya dengan perasaan gembira dan bangga, karena sebagian mereka bisa masuk sekolah favorit atau sekolah yang diidam-idamkan. Kegembiraan para siswa tersebut kemudian disambut oleh pihak sekolah dengan pesta penyambutan siswa baru, dengan digelarnya beberapa acara. Pesta tersebut kemudian dikenal dengan nama Masa Orientasi Siswa

Pada saat inilah, orang tua siswa kembali dibebani oleh masalah yang seharusnya tidak ditangani oleh mereka. Permasalahan yang sebenarnya harus diselesaikan sang anak sebagai siswa. Namun karena tingkat kesulitan yang tinggi, tidak memungkinkan sang anak menyelesaikan tugas MOS secara mandiri Maka tidak heran, jika MOS oleh sebagian orang diplesetkan menjadi Masa Orang tua Sibuk.

Bahkan ada yang ekstrim lagi dengan menyebut MOS sebagai Masa Orang-orang Sinting. Sebutan ini wajar ada karena memang dalam pelaksanaan MOS sering ditemui tugas-tugas yang aneh-aneh, mulai dari membawa barang-barang yang tak masuk akal sampai menggunakan atribut seperti orang ‘tidak waras’. Pihak panitia memberikan alasan kegiatan ‘aneh’ tersebut berfungsi memberikan kesan awal yang mendalam pada siswa sebelum memasuki proses pembelajaran normal.

Berdasarkan singkatan aslinya, kegiatan Masa Orientasi Siswa bertujuan mengenalkan siswa pada lingkungan belajar yang baru, baik itu tentang seluk beluk sekolah maupun gambaran pembelajaran yang akan dilakukan. Beberapa sekolah mengisi acara MOS dengan materi cara belajar yang benar, materi Adiwiyata, Wawasan Kebangsaan, Pramuka, UKS. Ada juga sekolah yang mengisi kegiatan permainan educatif atau out bond di halaman sekolahnya. SMP Muhammadiyah 12 Gresik, mengenalkan laboratorium dan melakukan beberapa attraksi percobaan yang membuat siswa terpancing rasa ingin tahunya. Sehingga pada proses pembelajaran normal, siswa lebih siap dalam menerima materi yang bersangkutan.

Acara semacam di atas itulah yang harusnya menjadi acara utama pada pelaksanaan MOS. Namun hanya beberapa sekolah menempatkan acara-acara tersebut sebagai acara inti. Bahkan ada sekolah yang menyerahkan sepenuhnya konsep acara pada siswa yang diwakili oleh OSIS. Kecenderungan OSIS dalam melaksanakan tugasnya, dicampuri oleh misi pribadinya. Entah itu misi balas dendam, ajang PDKT, atau misi yang lain. Akibatnya kegiatan yang semula memiliki tujuan yang penting bagi siswa baru, menjadi momen yang menakutkan dan membebankan siswa.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kegiatan Masa Orientasi Siswa berjalan sesuai harapan adalah sebagai berikut :


  • Siapkan kesehatan

Tak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan awal tahun ajaran baru ini membutuhkan banyak tenaga, pikiran dan waktu. Mulai dari waktu sekolah sekolah yang lebih panjang, hingga tugas-tugas yang sangat banyak. Oleh karena itu menjaga kondisi tubuh sangat penting. Jangan sampai karena kesehatan yang terganggu, dapat menganggu kegiatan yang terkadang menyenangkan bagi siswa


  • Gunakan kesempatan ini sebagai ajang pembelajaran

Tidak sedikit siswa yang terbantu oleh kegiatan Masa Orientasi Siswa ini dalam hal penyesuaian diri. Aktivitas yang melatih mental, menumbuhkan motivasi sampai memunculkan potensi siswa, biasanya ada dalam serangkaian kegiatan MOS ini, meskipun porsinya cukup kecil. Walaupun seperti itu, siswa diharapkan bisa mengambil pelajaran dari kegiatan ini. Maka bagi siswa, jangan ragu untuk mengeksplorasi kemampuan ketika kegiatan ini.


  • Jangan enggan bertanya

Banyaknya tugas yang tidak jelas, membuat siswa ataupun orang tua siswa kebingungan dalam menyelesaikannya. Tidak ada salahnya, jika siswa bertanya tentang kejelasan tugas yang diberikan. Pertanyaan itu bisa ditujukan ke panitia kegiatan yang biasanya anak OSIS, ataupun panitia dari pihak guru. Bahkan jika terdapat tugas MOS yang terlalu memberatkan, jangan segan untuk bertanya atau melaporkan ke diknas kota setempat.


  • Laporkan pada pihak terkait

Begitu banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaksana MOS, mulai dari iuran, waktu pelaksanaan, hingga materi dan tugas-tugas yang diberikan. Oleh karena itu perlu adanya aturan tegas dari pemerintah tentang batasan penyelenggaraan kegiatan tahunan ini. Jika terdapat ketidakkesesuaian, masyarakat (siswa atau orang tua), bisa melaporkannya ke pihak terkait. Dengan adanya control dari masyarakat ini, diharapkan kegiatan MOS memenuhi target tujuan yaitu mengenalkan dan mempersiapkan siswa di almamater barunya.


  • Kurangi Peran orang tua

Satu hal penting, supaya target tersebut tercapai adalah faktor keikutsertaan orang tua. Seringkali karena tidak tega dengan tugas anaknya, orang tualah yang mengerjakan tugas-tugas tersebut. Orang tua boleh membantu, bahkan memang diharapkan bisa mendampingi, tetapi anaklah yang berperan penting untuk menyelesaikannya. Karena dengan membiarkan anak menyelesaikan tugasnya sendiri, anak akan terlatih kreatifitas, kemandirian dan sikap-sikap positif lainnya. Inilah kunci keberhasilan dan harapan diadakannya Masa Orientasi Siswa.


Selamat mencoba. Selamat memasuki tahun ajaran baru tahun 2008-2009. Semoga sedikit demi sedikit, pendidikan di Indonesia lebih maju dan memajukan bangsa ini.



PERAN MAHASISWA KEGURUAN (CALON GURU) DALAM KEBERHASILAN PENDIDIKAN NASIONAL



Permasalahan pendidikan tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Mulai dari sistem pendidikan yang dirumuskan pemerintah hingga intitusi sekolah yang di dalamnya terdapat komponen guru. Banyak kalangan yang menilai bahwa keberhasilan pendidikan ada di tangan guru. Guru merupakan orang terdepan dan pertama yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Di tengah semrawutnya kebijakan pendidikan nasional di Indonesia, mulai dari kontroversi Ujian Nasional sampai ketidakjelasan kurikulum baru yang oleh pemerintah dinamakan KTSP, gurulah yang menjadi korban pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena guru dianggap memiliki kualitas dan kompetensi yang rendah, sehingga ketidakberhasilan kebijakan dan program tersebut mengkambinghitamkan guru sebagai penyebabnya.

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi guru adalah dengan membuat Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) nomor 14 tahun 2005. Dampak adanya undang-undang yang yang disahkan pada tanggal 30 bulan Desember 2005 itu adalah pada tahun 2007 akan diadakan sertifikasi bagi guru. Guru yang telah lulus ujian sertifikasi akan memperoleh tunjangan profesi sebesar gaji pokok serta mendapatkan tunjangan yang lain. Awalnya kebijakan ini disambut gembira oleh para guru karena dianggap akan meningkatkan taraf hidup mereka dan sebagai bentuk perhatian pemerintah pada guru. Namun dalam pelaksanaan sertifikasi yang dilaksanakan akhir September 2007, guru mengalami berbagai keluhan, mulai pendaftaran hingga berkas portofolionya. Hasilnya bisa dilihat guru yang berada di wilayah rayon Malang, yang lulus sertifikasi tidak mencapai angka 60 %. Belum lagi ada indikasi bahwa berkas portofolio sebagian merupakan hasil rekayasa guru, bukan portofolio asli. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru belum berhasil.

Salah satu penyebabnya adalah mental guru sekarang yang masih harus diperbaiki. Penelitian Balitbang Diknas yang bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang dalam rangka sertifikasi guru menunjukkan bahwa faktor mental guru sangat berpengaruh terhadap kinerja dan profenionalisme guru. Jika hal itu yang menjadi poin utama permasalahan selama ini, maka permasalahan selanjutnya adalah dimulai dari mana pembangunan mental para guru tersebut? Dan kapan pelaksanaannya? Faktanya banyak para guru yang enggan melakukan pengembangan diri dalam bentuk mengikuti pelatihan atau seminar-seminar, walaupun dibiayai oleh sekolah atau pemerintah. Hal ini dikarenakan jam mengajar guru yang terlalu padat ditambah lagi tugas-tugas administrasi yang menumpuk sehingga guru tidak memiliki lagi waktu untuk keperluan pekerjaannya. Sisa waktu luangnya dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga.

Mengingat kompleknya permasalahan tersebut, ada yang berpendapat jalan keluarnya adalah pemutusan generasi lama oleh generasi baru yang akan melakukan banyak perubahan, baik dalam pemerintahan maupun dalam sekolah. Namun tampaknya solusi itu bukanlah penyelesaian yang terbaik karena tidak bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Upaya yang tepat adalah bagaimana menyiapkan calon guru (mahasiswa keguruan) agar memiliki mental baik dan memiliki profesionalisme dalam bekerja sebagai guru. Usaha inilah yang harus diprioritaskan oleh pemerhati pendidikan termasuk pemerintah. Sebab 10 tahun yang akan datang, guru sekarang akan digantikan oleh calon guru yang saat ini berstatus sebagai mahasiswa keguruan. Jika mahasiswa keguruan tidak mendapat perhatian dari para ahli pendidikan, maka artinya kualitas guru yang akan datang masih sama dengan guru sekarang. Sehingga sedikit sekali harapan bahwa 10 tahun yang akan datang terjadi perubahan positif pada pendidikan nasional

Dalam pelaksanaan program di atas, guru muda dengan jiwa agen perubahannya, akan berfungsi ganda. Selain sebagai sebagai pengubah sistem pendidikan dengan inovasi – inovasi barunya, mereka juga berfungsi sebagai fasilitator guru lama secara perlahan-lahan mengikuti jejak mereka. Sehingga secara bertahap perubahan pendidikan khususnya dalam setiap intitusi pendidikan dan sekolah akan terlihat.

Jika poin utama permasalahan sudah ditemukan, sekarang barulah berpikir bagaimana menyiapkan mahasiswa keguruan (calon guru) agar dapat menjadi guru yang kita inginkan bersama.

Pertama, membenahi proses di LPTK dalam mencetak guru. Idealnya, guru merupakan output dari LPTK (lembaga pendidikan tinggi keguruan) atau dulu dikenal dengan sebutan IKIP. Namun, tidak semua guru lulusan LPTK. Tantangan bagi LPTK sekarang adalah lulusan LPTK belum bisa bersaing dengan lulusan perguruan tinggi yang tidak mencetak guru. Di lapangan masih banyak guru terutama guru swasta yang bukan sarjana pendidikan, meskipun sebagian dari mereka mengikuti pendidikan Akta IV yang ditempuh untuk formalitas administrasi. Akibatnya, guru dalam mendidik tidak dibekali oleh ilmu cara mendidik yang benar. Melihat fenomena tersebut, LPTK harus segera bertindak untuk melakukan pembenahan dalam memproses mahasiswanya agar lulusannya mampu bersaing di lapangan pekerjaan pendidikan, tidak hanya di sekolah formal, tetapi juga di intitusi pendidikan yang lain. Salah satunya dengan seringnya mengadakan pelatihan pendidikan dan seminar-seminar ilmiah tentang pendidikan.

Kedua, mahasiswa keguruan harus memposisikan diri sebagai calon guru sejak awal. Pada umumnya pilihan menjadi mahasiswa keguruan merupakan pilihan kedua pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), bahkan mungkin pilihan terakhir. Hal ini akan berimbas pada proses pelaksanaan pendidikan di kampusnya dilaksanakan secara setengah-setengah. Banyak dari mereka yang tidak puas dan bangga menjadi calon guru atau pendidik. Akibatnya mereka baru mempersiapkan diri menjadi guru yang baik secara mental maupun materi ketika mereka berada di semester akhir, tepatnya pada saat mereka melaksanakan PPL. Untuk mengatasi itu, perlu adanya iklim akademis yang mendukung di lingkungan mahasiswa keguruan. Suasana tersebut dapat diciptakan dengan mengaktifkan forum kajian pendidikan di lingkungan kampus. Aktivitas yang lain contohnya dengan melatih kemampuan mengajar dimulai dari pemberian bimbingan belajar privat. Atau aktivitas lain yang mendukung mahasiswa dalam mempersiapkan diri sebagai seorang guru. Adanya iklim yang kondusif di lingkungan mahasiswa keguruan, membuat mereka menyadari bahwa dirinya calon guru yang turut menentukan keberhasilan pendidikan bangsa ini.

Ketiga, memasyarakatkan peluang guru dalam sisi profesionalisme pekerjaan. Jika sebelumnya profesi guru sama sekali tidak dilirik oleh orang-orang berkualitas (pandai), maka ke depan dengan kesejahteraan yang dijanjikan oleh pemerintah, guru akan menjadi profesi yang setara dengan profesi lain yang menjanjikan secara materi. Ini adalah janji pemerintah dan harapan semua pihak. Oleh karena itu, wacana ini harus disosialisasikan ke masyarakat luas termasuk di sekolah. Sejak siswa SD atau TK, harus dijelaskan prospek profesi guru ke depan. Sehingga siswa yang memiliki kemampuan lebih memilih cita-cita menjadi guru, bukan hanya sebagai cita-cita cadangan. Mereka akan berambisi mewujudkan impiannya itu dengan memilih perguruan tinggi keguruan. Diharapkan 10 tahun selanjutnya mereka yang berkemampuan lebih tersebut, akan mampu mendidik generasi-generasi selanjutnya menjadi lebih baik lagi dan seterusnya.

Ketiga upaya di atas, semuanya harus segera dipikirkan dan dilaksanakan bersama, terutama bagi pemerintah. Ketiga upaya tersebut, yang paling berat dilakukan dan itu harus dilakukan terlebih dahulu adalah upaya yang ketiga. Upaya ini agak sulit dilakukan karena membutuhkan bukti kongkret dari pemerintah. Namun dengan niat yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan dengan dukungan oleh semua pihak yang berpengaruh, tidak menutup kemungkinan upaya ini akan berjalan dengan baik. Tentunya semuanya harus memiliki misi besar yang sama yaitu ingin memajukan bangsa ini melalui pendidikan nasional.


Minggu, 27 Juli 2008

memaknai pendidikan

beberapa para ahli berbeda jika ditanya tentang makna pendidikan.
tetapi hampir semuanya sepakat bahwa pendidikan memiliki tujuan akhir
memanusiakan manusia.
namun kesepakatan konsepsi itu sepertinya hanya ada dalam buku literatur saja.
melihat banyak intansi yang menyatakan lembaga pendidikan bahkan menamakan sekolah,
tetapi aktivitasnya sama sekali tidak memanusiakan peserta didiknya.
pertanyaan kemudian apakah ada di era sekarang, lembaga yang benar-benar memanusiakan manusia, layaknya seorang ibu yang sedang mengasuh bayinya. itulah gambaran konkret pendidikan